1. Iwan (35 tahun)
Membuat Surat Wasiat
Kondisinya paling parah di antara tujuh pendaki yang lain. Pada hari ketiga atau Sabtu (23/5) kepalanya terantuk batu dan menyebabkan pendarahan yang cukup lama. Berdasarkan penuturan Didi (28), darah di kepala Iwan tak berhenti mengalir.
“Mengalir deras seperti leher kambing yang baru disembelih,” katanya sambil mengerutkan wajah. Namun, kondisi Iwan berangsur-angsur pulih. Setelah kepalanya yang sobek itu ditutupi kain, pendarahannya berhenti.
Iwan adalah orang yang dituakan di antara tujuh pendaki. Saat dua pendaki lain sudah ditemukan, Iwan dan empat lainnya tetap tegar. “Saya seperti merasa dilindungi oleh yang Mahakuasa. Dzikir dan shalat tidak pernah saya tinggalkan. Alhamdulillah selama pencarian jalan menuju pulang, kami tidak dihadapkan dengan masalah-masalah lain,”
katanya yang saat ditemui Radar Bekasi sedang dirawat intensif dokter RSUD 45 Kabupaten Kuningan.
Ia menceritakan, persediaan makanan yang mereka bawa hanya cukup untuk satu hari. Selebihnya selama enam hari mereka berusaha menghemat persediaannya. “Enam hari itu kami hanya hidup dari air, madu dan mie instan,” ujarnya. Selama enam hari itu, lima pendaki ini selalu membagi satu mie instan untuk dikonsumsi tiga orang setiap harinya.
Selebihnya mereka tidak makan lagi.
Iwan dan enam kawannya merasa tersesat sesaat setelah memutuskan untuk memotong jalan. Aksi potong-memotong jalan secara serampangan ini membuat mereka tak lagi menemukan jalan konvensional yang biasa digunakan para pendaki. Saat itu, ilalang mereka terabas agar bisa melihat jalur. Maklum, ilalang di atas ketinggian 2.000 mdpl adalah ilalang yang berduri. “Kami baru sadar kalau kami tersesat pada Sabtu (23/5),” kata Iwan.
Menginjak hari kelima mereka tersesat, Iwan sempat mencetuskan untuk membuat surat wasiat. Empat orang lainnya juga diajak untuk membuat surat wasiat, namun urung. Jadi, hanya Iwan yang menulisnya. Menurut penuturan Darsono, surat wasiat itu ditulis sebagai persiapan jika mereka ditemukan dalam kondisi tak bernyawa. Di dalamnya terdapat tulisan yang meminta agar pihak keluarga menyelesaikan segala urusan
seperti utang yang sedang diemban Iwan. Namun, Iwan enggan membeberkan surat yang telah ia buat.(ndi)
2. Didi (28)
Minum Air Kencing
Iwan merasa jijik ketika Didi dengan santainya menadah air kencingnya sendiri kemudian mencampurnya dengan bubuk Extra Joss. Setelah diaduk beberapa saat, Didi kemudian meminum air kencingnya sendiri. “Ternyata rasanya kecut ya,” kata Iwan menirukan kata-kata Didi yang terdengar polos.
Menurut Iwan, Didi mengalami dehidrasi sehingga harus meminum air kencing sendiri. “Waktu itu saya bilang, ‘mau bagaimana lagi, ini dalam kondisi darurat’. Silakan saja,” Iwan mempersilakan Didi.
Ketika Radar Bekasi mencari kebenarannya pada Didi, ia memang meminum air kencing itu. Tapi bukan karena dehidrasi. Ia meminum air seninya sendiri semata-mata untuk memberi motivasi agar teman-temannya tetap semangat. “Saya melihat semangat kawan-kawan kendur. Dengan meminum air kencing, saya ingin buktikan bahwa kita masih bisa bertahan hidup walau situasi buruk sekalipun,” katanya.
Didi pula yang mencetuskan membuat surat petunjuk dan menaruhnya di bawah sandal jepit. Dengan surat ini Didi berharap agar Tim SAR segera menemukan mereka.
Selama tersesat Didi mengaku tak ada banyak ketegangan yang dirasakan. Selama perjalanan, masing-masing pendaki memiliki cerita-cerita sendiri untuk diperdengarkan. Iwan sebagai orang yang dituakan bahkan selalu bercerita tentang sesuatu yang lucu. Cerita tentang sahabat Rosulullah juga menjadi bahan untuk memotivasi diri dan menghilangkan rasa bosan selama pencarian jalan menuju pulang.(ndi)
3. Darsono (36)
Nyawa Terasa Sangat Dekat
Agar tidak ada satu pun yang terpisah dari rombongan, lima pendaki yang masih tersesat berkomitmen menghubungkan satu sama lain dengan seutas tali. Tali itu dibentuk seperti rantai yang merangkai mereka berlima. Tali tersebut diikatkan pada pinggang agar dapat bergerak bebas selama perjalanan mencari jalan keluar.
Jika medan terjal, ikatan tali dilepas. “Ini untuk menghindari agar semua tidak jatuh begitu satu orang jatuh. Namun, jika jalan kembali landai, tali kami ikatkan kembali. Ini juga dilakukan untuk memberi efek psikoligis bahwa kami akan tetap bersama,” kata Darsono.
Darso ditemui Radar Bekasi sedang berbaring. Dua orang suster sedang memeriksa tekanan darahnya dan sedang membersihkan darah kering di telapak tangannya yang tersayat ilalang berduri. Darsono terlihat lemas dan belum mampu terbangun untuk makan bubur yang telah disediakan pihak rumah sakit.
Tak lama berselang, ia bangun. Kakinya masih diselonjorkan. Ia bercerita bahwa dirinyalah yang paling panik di antara empat teman lainnya. Sewaktu Iwan mencetuskan untuk membuat surat wasiat, ia pula yang pertama kali menolak. “Kami merasa nyawa sudah dekat,” gumamnya.(ndi)
4. Abdul Hatni (33)
Semangat Berlipat
Abdul Hatni adalah orang yang paling emosional di antara lima pendaki. Begitu salah satu regu Tim Gabungan menemukan mereka, ia lantang berteriak “Allahu Akbar”. Selama perjalanan menuju rumah sakit, setiap orang yang ia temui dan bersamalan selalu diakhiri dengan diteriaki frasa itu.
Hatni bisa dibilang sebagai pendaki yang kondisi fisiknya paling stabil setelah penemuan itu. Ia sempat menolak menaiki motor trail menuju ambulans yang sedang menunggu di kaki gunung. Di rumah sakit, ia pun menolak untuk diinfus karena merasa kondisinya sehat-sehat saja. Bahkan ia langsung mandi dan menunaikan shalat dzuhur.
Padahal, berdasarkan cerita Darsono yang berbagi satu kamar di ruang nomor 1 Ruangan Beda RSUD 45 Kabupaten Kuningan, kondisi tubuh Hatni paling lemah selama tersesat. “Saya heran, kok, sekarang justru dia yang paling kuat,” katanya.
Jika para pendaki lain masih berbaring di kasur, Hatni justru berjalan-jalan. Ia makan bubur dengan lahapnya. Sempat-sempatnya ia mencari cara agar kasur rumah sakit bisa tertekuk agar dirinya nyaman menonton televisi.
"Memang selama diperjalanan, fisik saya paling lemah, namun setelah mendengar cerita-cerita perjuangan sahabat Rosulullah, semangat saya berlipat,” ujar Hatni bercerita. Tak henti-hentinya Hatni berdoa agar dirinya diberikan ketabahan dan bersama teman-temannya bisa menemukan jalan pulang.(ndi)
5. Gembong (27), warga Jalan Irigasi Margahayu Bekasi Timur
Buang Perbekalan
Selama matahari terbit, lima pendaki ini terus melakukan perjalanan.Beristirahat sebentar kemudian berjalan kembali agar bisa segera menemukan jalan keluar. Ini terus dilakukan selama mereka tersesat. Baru ketika matahari tenggelam digantikan malam, mereka beristirahat.
Semua rintangan yang ada selama perjalanan hanya diatasi dengan peralatan manual. Pisau seadanya, penerang lampu yang minim, dan tanpa korek api. Jika malam tiba, penerangan hanya sesekali digunakan melalui media lampu senter. Mereka tak dapat menyalakan api unggun karena tak punya korek. Dingin sudah menjadi menu setiap malam.
“Saya sempat mengalami dehidrasi. Saat itu persediaan air sudah habis. Sungai tak ada air. Untungnya malam itu hujan, jadi kita bisa mengambil air hujan,” kata Gembong. Ia mengakui, medan yang ditempuh amat terjal dan berbahaya. Mereka harus turun lembah dan naik bukit agar tetap pada komitmen awal: terus menyusuri aliran sungai.
Beban yang tidak banyak pun terpaksa harus dipangkas. Ini dilakukan agar beban semakin ringan. “Kami sudah tidak berpikir lagi untuk membawa perbekalan sebanyak-banyaknya. Kami hanya memikirkan bagaimana caranya agar tim pencari segera menemukan kami,” katanya. (ndi)
(RADAR BEKASI, 29 MEI 2009)
Jumat, 29 Mei 2009
5 Pendaki Tersesat di Ceremai Akhirnya Ditemukan
KUNINGAN - Kelima pendaki yang sempat hilang di Gunung Ceremai akhirnya ditemukan pada hari Kamis, 28 Mei 2009 sekitar pukul 11.20 WIB di ketinggian 1.100 mdpl di wilayah Pasiripis, yang masuk wilayah adminstratif Kabupaten Kuningan.
"Kelima pendaki ditemukan dalam kondisi sehat," ujar anggota Tim Posko SAR gabungan dari Basarnas, Suyatno, Kamis (28/5/2009).
Menurut dia sejumlah tim evakuasi mulai merangkak naik untuk mendekati para pendaki, sementara yang lainnya bergerak turun untuk mempersiapkan proses evakuasi selanjutnya.
Dengan ditemukannya lima pendaki ini berarti tim SAR telah menemukan seluruh pendaki yang sempat dinyatakan hilang sejak Sabtu 23 Mei 2009. Sebelumnya tim juga telah menemukan dua pendaki lainnya pada Senin 25 Mei 2009.
(Taofik Hidayat/Koran SI/fit)
Selasa, 19 Mei 2009
Jumat, 15 Mei 2009
Bekasi Tempoe Doeloe
Dalam catatan sejarah, nama "Bekasi" memiliki arti dan nilai sejarah yang khas. Menurut Poerbatjaraka -, seorang ahli bahasa Sansekerta dan Jawa Kuno - Asal mula kata Bekasi, secara filosofis, berasal dari kata Chandrabhaga. Chandra berarti "bulan" (dalam bahasa Jawa Kuno, sama dengan kata Sasi) dan Bhaga berarti "bagian". Jadi, secara etimologis kata Chandrabhaga berarti bagian dari bulan. Kata Chandrabhaga berubah menjadi Bhagasasi yang pengucapannya sering disingkat menjadi Bhagasi. Kata Bhagasi ini dalam pelafalan bahasa Belanda seringkali ditulis "Bacassie" kemudian berubah menjadi Bekasi hingga kini.
Dayeuh Sundasembawa atau Jayagiri, itulah sebutan Bekasi tempo dulu sebagai Ibukota Kerajaan Tarumanagara (358-669). Luas Kerajaan ini mencakup wilayah Bekasi, Sunda Kelapa, Depok, Cibinong, Bogor hingga ke wilayah Sungai Cimanuk di Indramayu. Menurut para ahli sejarah dan fisiologi, letak Dayeuh Sundasembawa atau Jayagiri sebagai Ibukota Tarumanagara adalah di wilayah Bekasi sekarang.
Dayeuh Sundasembawa inilah daerah asal Maharaja Tarusbawa (669-723 M) pendiri Kerajaan Sunda dan seterusnya menurunkan Raja-Raja Sunda sampai generasi ke-40 yaitu Ratu Ragumulya (1567-1579 M) Raja Kerajaan Sunda (disebut pula Kerajaan Pajajaran) yang terakhir.
Wilayah Bekasi tercatat sebagai daerah yang banyak memberi informasi tentang keberadaan Tatar Sunda pada masa lampau. Diantaranya dengan ditemukannya empat prasasti yang dikenal dengan nama Prasasti Kebantenan. Keempat prasasti ini merupakan keputusan (piteket) dari Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi, Jayadewa 1482-1521 M) yang ditulis dalam lima lembar lempeng tembaga.
Sejak abad ke 5 Masehi pada masa Kerajaan Tarumanagara abad ke 8 Kerajaan Galuh, dan Kerajaan Pajajaran pada abad ke 14, Bekasi menjadi wilayah kekuasaan karena merupakan salah satu daerah strategis, yakni sebagai penghubung antara pelabuhan Sunda Kelapa (Jakarta).
Dayeuh Sundasembawa atau Jayagiri, itulah sebutan Bekasi tempo dulu sebagai Ibukota Kerajaan Tarumanagara (358-669). Luas Kerajaan ini mencakup wilayah Bekasi, Sunda Kelapa, Depok, Cibinong, Bogor hingga ke wilayah Sungai Cimanuk di Indramayu. Menurut para ahli sejarah dan fisiologi, letak Dayeuh Sundasembawa atau Jayagiri sebagai Ibukota Tarumanagara adalah di wilayah Bekasi sekarang.
Dayeuh Sundasembawa inilah daerah asal Maharaja Tarusbawa (669-723 M) pendiri Kerajaan Sunda dan seterusnya menurunkan Raja-Raja Sunda sampai generasi ke-40 yaitu Ratu Ragumulya (1567-1579 M) Raja Kerajaan Sunda (disebut pula Kerajaan Pajajaran) yang terakhir.
Wilayah Bekasi tercatat sebagai daerah yang banyak memberi informasi tentang keberadaan Tatar Sunda pada masa lampau. Diantaranya dengan ditemukannya empat prasasti yang dikenal dengan nama Prasasti Kebantenan. Keempat prasasti ini merupakan keputusan (piteket) dari Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi, Jayadewa 1482-1521 M) yang ditulis dalam lima lembar lempeng tembaga.
Sejak abad ke 5 Masehi pada masa Kerajaan Tarumanagara abad ke 8 Kerajaan Galuh, dan Kerajaan Pajajaran pada abad ke 14, Bekasi menjadi wilayah kekuasaan karena merupakan salah satu daerah strategis, yakni sebagai penghubung antara pelabuhan Sunda Kelapa (Jakarta).
Bekasi dari Zaman ke Zaman
Bekasi Zaman Belanda
Pada zaman Belanda, wilayah Bekasi hanya merupakan kewedanaan (district) yang termasuk kabupaten (regenshaf) Meester Cornelis. Saat itu, kehidupan sistem kemasyarakatan, khususnya di sektor ekonomi dan pertanian didominasi atau dikuasai oleh para tuan tanah keturunan Cina. Sehingga, dengan kondisi tersebut, seolah-olah Bekasi memiliki bentuk pemerintahan ganda, yaitu pemerintahan tuan tanah dan di dalam pemerintahan kolonial. Kondisi ini berlangsung hingga pendudukan Jepang.
Bekasi Zaman Jepang
Tepatnya pada bulan Maret 1942, pemeritah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada bala tentara Dai Nippon. Tentara pendudukan Jepang melakukan Japanisasi di seluruh sektor kehidupan, termasuk mengganti nama Batavia dengan Jakarta. Dan Regenschap Meester Cornelis berubah menjadi Ken Jatinegara. Di mana batas wilayahnya meliputi Gun Bekasi, Gun Cikarang, dan Gun Matraman.
Bekasi Zaman Perang Kemerdekaan
Setelah proklamasi kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945, struktur pemerintahan Bekasi kembali berubah nama. Ken menjadi Kabupaten, Gun berubah menjadi Kewedanaan, Son diubah menjadi Kecamatan dan Kun menjadi Desa. Sementara gedung kabupaten Jatinegara yang membawahi kewedanaan Bekasi, saat ini digunakan oleh Kodim 0505 Jakarta Timur. Karena tentara pendudukan sekutu mentukan garis keamanannya hingga ke Warung Jengkol (kini terletak di terminal Pulo Gadung Klender).
Dalam upaya mempertahankan perang melawan gerilya menghadapi agresi Belanda, maka ibukota kabupaten Jatinegara sering berpindah-pindah. Pertama, di Tambun, lalu kemudian di Cikarang. Setelah itu, dipindahkan lagi ke Bojong (Kedunggede) saat Rubaya Suryanata Mihardja yang menjabat sebagai bupati kabupaten Bekasi. Kemudian, pada saat pendudukan oleh tentara Belanda, kabupaten Jatinegara dihapus dan kedudukannya dikembalikan seperti zaman Regenschap Meester Cornelis, yaitu menjadi kewedanaan.
Bekasi Tahun 1949 sampai Sekarang
Sekitar bulan Maret 1949, Taringgul di Purwakarta dijadikan tempat kedudukan residen militer RI daerah V yang dipimpin oleh Letkol Sambas Admadinata sebagai residen dan Mu’min selaku residen militer daerah V. Dan Bupati Kabupaten Jatinegara Mr. R Soehanda Oemar berkantor di Gedung Papak Jatinegara, yang diayomi oleh perwira distrik militer Letda R Yusuf. Kabupaten Jatinegara pernah berkantor di pabrik sepatu Malino, Gang Binares, Pisangan Lama karena perselisihan antara pihak republik (RI, red) dengan pihak Belanda, yaitu orang Nica.
Terbentuknya Kabupaten Bekasi dimulai dengan dibentuknya "Panitia Amanat Rakyat Bekasi" yang dipelopori oleh KH. Noer Ali, R. Supardi, M. Hasibuan, Namin, Aminuddin dan Marzuki Urmaini. Selanjutnya pada tanggal 17 Februari 1950, sekitar 40.000 masyarakat Bekasi melakukan unjuk rasa di alun-alun Bekasi (sekarang ditandai dengan monumen). Rakyat Indonesia, Bekasi itu menyampaikan pernyataan sikapnya pada dunia yang dihadiri oleh Bapak Mu’min selaku Residen Militer Daerah V berserta rombongan. Pertama, bahwa rakyat Bekasi tetap berdiri di belakang pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia (RI). Selanjutnya, rakyat Bekasi mengajukan usul kepada pemerintah pusat agar kabupaten Jatinegara menjadi Kabupaten Bekasi.
Kabupaten Bekasi terbentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1950 tertanggal 15 Agustus 1950. Pada saat itu, Kabupaten Bekasi terdiri dari 4 kewedanaan, 13 kecamantan dan 95 desa. Waktu itu kecamatan Cibarusah termasuk wilayah Kabupaten Bekasi. Sekedar diketahui, angka-angka itu terungkap apik di dalam lambang Kabupaten Bekasi. Moto Kabupaten Bekasi, “Swatantara Wibawa Mukti.” Selanjutnya, pada tahun 1960, kantor Kabupaten Bekasi dipindahkan ke Bekasi dari Jatinegara.
Perkembangan pemerintahan RI pada waktu itu menuntut adanya pelayanan yang maksimal terhadap masyarakat. Maka, pada tahun 1982 Komplek Perkantoran Pemerintah Kabupaten Bekasi Daerah Tingkat II Bekasi dipindahkan oleh Abdul Fatah selaku Bupati ke Jalan Jenderal Ahmad Yani Nomor 1, yang sebelumnya berlokasi di Jalan Ir H Juanda.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 1981 Kecamatan Bekasi ditingkatkan statusnya menjadi Kota Administrasif Bekasi yang meliputi 4 kecamatan; Bekasi Barat, Bekasi Selatan, Bekasi Timur, Bekasi Utara. Dari keempat kecamatan itu terdiri 18 kelurahan dan 8 desa. Pemekaran itu dilakukan atas tuntutan masyarakat perkotaan yang memerlukan adanya pelayanan khusus. Pembentukan Kota Administrasi Bekasi digelar pada tanggal 20 April 1982 yang dihadiri Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Adapun yang menjabat sebagai Walikota Administrasi Bekasi adalah Drs Andi R Sukardi hingga 1988, dan digantikan oleh Drs H Kailani AR.
Dengan adanya konsep Botabek yang didukung oleh Inpres Nomor 13 Tahun 1976 sangat berpengaruh besar terhadap perkembangan Kota Administrasi Bekasi sebagai daerah yang berbatasan langsung dengan ibukota negara, DKI Jakarta.
Dengan kondisi itu, maka Kota Administrasi Bekasi dan kecamatan-kecamatan di sekitarnya yang berada di wilayah kerja Kabupaten Bekasi mengalami pertumbuhan yang amat pesat. Sehingga memerlukan peningkatan dan pengembangan sarana dan prasaran sebagai syarat pengelolaan wilayah.
Selain itu, perkembagan yang ada telah menujukkan bahwa Kota Administrasi Bekasi mampu memberikan dukungan penggalian potensi di wilayahnya untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Dan untuk mendukung jalannya roda pemerintahan, maka keluarlah UU Nomor 9 Tahun 1996 yang mendukung berubahnya Kota Administrasi Bekasi menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Bekasi.
Sedangkan wilayah kerja Eks Kota Administrasi Bekasi meliputi Kecamatan Bekasi Utara, Kecamatan Bekasi Barat, Kecamatan Bekasi Selatan, Bekasi Timur dan ditambah wilayah kerja Kecamatan Pondok Gede, Jatiasih Bantar Gebang serta Kecamatan Pembantu Jatisampurna. Kesemuanya itu meliputi 23 desa dan 27 kelurahan. Pejabat Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Bekasi dipegang oleh Drs H Kailani AR selama 1 tahun. Selanjutnya, dijabat secara definitif oleh Drs H Nonon Sonthanie yang terhitung sejak tanggal 23 Februari 1998.
Dalam perkembangannya, telah terjadi perubahan jumlah dan status kelurahan/desa. Maka, berdasarkan surat Menteri Dalam Negeri bernomor 140/2848/PUOD tanggal 3 Februari 1998 dan sesuai keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor 50 Tahun 1998, mengubah status 6 desa menjadi kelurahan, pemecahan 2 kelurahan baru. Sehingga jumlah desa/kelurahan di Kotamadya Daerah Tingkat II Bekasi menjadi 52 desa. Masing-masing 35 jumlah kelurahan dan 17 jumlah desa.
Seiring dengan berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah telah mengubah paradigma penyelenggaraan pemerintah daerah. Atas landasan itu pula nomenklatur pemerintah daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Bekasi berubah menjadi Kota Bekasi. Berdasarkan UU Nomor 22/1999, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah dan Provinsi sebagai Daerah Otonomi serta PP Nomor 84 Tahun 2000 Tentang Pedoman Organisasi Pejabat Daerah, telah melahirnya peraturan daerah Nomor 9, 10, 11 dan 12 Tentang Pengaturan Organisasi Perangkat Daerah.
Untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat lewat Perda (peraturan daerah) maka terbitlah Perda Nomor 14 Tahun 2000 yang menyesahkan terbentuknya 2 kecamatan baru: Kecamatan Rawa Lumbu dan Medan Satria. Sehingga Kota Bekasi terdiri atas 10 kecamatan. Dan berdasarkan Perda Kota Bekasi Nomor 02 Tahun 2002 Tentang Penetapan Kelurahan, maka seluruh desa yang ada di Kota Bekasi berubah status menjadi kelurahan, sehingga Pemko (pemerintah kota) Bekasi mempunyai 52 pemerintahan di kelurahan.
Seiring waktu perjalanan Pemko Bekasi mengalami pemekaran kembali. Itu didukung oleh Perda Pemko Bekasi Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Wilayah Administrasi kecamatan dan kelurahan, maka wilayah administrasi Kota Bekasi menjadi 12 kecamatan dan 56 kelurahan. Semua itu ditempuh untuk meningkatkan pelayanan dan mengayomi masyarakat yang ada di wilayah Administrasi Kota Bekasi. Tak lama kemudian, terbitlah Keputusan DPRD Kota Bekasi Nomor 37-174.2/DPRD/2003 tertanggal 22 Februari 2003 tentang penetapan walikota Bekasi dan wakilnya periode 2003-2008. Yang dilanjutkan dengan keputusan Mendagri bernomor: 131.32-113 Tahun 2003 Tentang Pengesahan Walikota Bekasi, Jawa Barat. Dan keputusan Mendagri Nomor: 132.32-114 Tahun 2003 Tentang Pengesahan Walikota Bekasi, Jawa Barat H Akhmad Zurfaih HR, S.Sos yang didampingi oleh Mochtar Mohamad. Saat ini Kota Bekasi dipimpin oleh Mochtar Mohamad selaku Walikota didampingi oleh Rahmat Effendi selaku Wakil Walikota yang terpilih dalam pemilihan Walikota dan Wakil Walikota secara langsung oleh rakyat Kota Bekasi.
Menjelang hari kelahiran (jadi) Pemko Bekasi yang ke-9 tahun 2006, lokasi perkantoran atau pusat ibukota Pemko Bekasi dialihkan ke Jalan Jend. Ahmad Yani Nomor 1 Kecamatan Bekasi Selatan yang sebelumnya berpusat di Jalan Ir Juanda. Alasan pemindahan itu berlandaskan atas persetujuan penetapan pusat ibukota Pemko Bekasi yang disahkan oleh lembaga DPRD Kota Bekasi bernomor: 27/174.2/DPRD/2005 Tentang Persetujuan Pemindahan Pusat Ibukota Pemko Bekasi tertanggal 25 Juni Tahun 2005. Yang diketahui oleh Gubernur Jawa Barat dan Mendagri RI.
Di hari jadi Pemko Bekasi yang ke-10, yang bertepatan tanggal 11 Maret 2007, Pemko Bekasi telah melaksanakan berbagai aktivitas pemerintahan yang berpusat di Jl Jend Ahmad Yani No 1 Bekasi Selatan. Dan kondisi perkantoran representatif sebagai pusat dan pelayanan masyarakat Kota Bekasi.
Pada pemilu legislatif 2004 telah mengantarkan 45 orang wakil rakyat Kota Bekasi dari delapan partai politik: PKS (11), Golkar (9), PD (7), PAN (6), PDI-P (6), PPP (4) PDS (1), PBB (1). Periode 2004-2009, yang terpilih sebagai pimpinan DPRD Ketua H Rahmat Effendi, S.Sos, M.Si, (F-Golkar), didampingi oleh H Dadang Asgar Noor (F-PD) dan H Ahmad Syaikhu (F-PKS). Saat ini ketua DPRD Kota Bekasi adalah H. Yusuf Nasih, S.Sos, menggantikan Rahmat Effendi, S.Sos yang terpilih menjadi Wakil Walikota.
Pada zaman Belanda, wilayah Bekasi hanya merupakan kewedanaan (district) yang termasuk kabupaten (regenshaf) Meester Cornelis. Saat itu, kehidupan sistem kemasyarakatan, khususnya di sektor ekonomi dan pertanian didominasi atau dikuasai oleh para tuan tanah keturunan Cina. Sehingga, dengan kondisi tersebut, seolah-olah Bekasi memiliki bentuk pemerintahan ganda, yaitu pemerintahan tuan tanah dan di dalam pemerintahan kolonial. Kondisi ini berlangsung hingga pendudukan Jepang.
Bekasi Zaman Jepang
Tepatnya pada bulan Maret 1942, pemeritah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada bala tentara Dai Nippon. Tentara pendudukan Jepang melakukan Japanisasi di seluruh sektor kehidupan, termasuk mengganti nama Batavia dengan Jakarta. Dan Regenschap Meester Cornelis berubah menjadi Ken Jatinegara. Di mana batas wilayahnya meliputi Gun Bekasi, Gun Cikarang, dan Gun Matraman.
Bekasi Zaman Perang Kemerdekaan
Setelah proklamasi kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945, struktur pemerintahan Bekasi kembali berubah nama. Ken menjadi Kabupaten, Gun berubah menjadi Kewedanaan, Son diubah menjadi Kecamatan dan Kun menjadi Desa. Sementara gedung kabupaten Jatinegara yang membawahi kewedanaan Bekasi, saat ini digunakan oleh Kodim 0505 Jakarta Timur. Karena tentara pendudukan sekutu mentukan garis keamanannya hingga ke Warung Jengkol (kini terletak di terminal Pulo Gadung Klender).
Dalam upaya mempertahankan perang melawan gerilya menghadapi agresi Belanda, maka ibukota kabupaten Jatinegara sering berpindah-pindah. Pertama, di Tambun, lalu kemudian di Cikarang. Setelah itu, dipindahkan lagi ke Bojong (Kedunggede) saat Rubaya Suryanata Mihardja yang menjabat sebagai bupati kabupaten Bekasi. Kemudian, pada saat pendudukan oleh tentara Belanda, kabupaten Jatinegara dihapus dan kedudukannya dikembalikan seperti zaman Regenschap Meester Cornelis, yaitu menjadi kewedanaan.
Bekasi Tahun 1949 sampai Sekarang
Sekitar bulan Maret 1949, Taringgul di Purwakarta dijadikan tempat kedudukan residen militer RI daerah V yang dipimpin oleh Letkol Sambas Admadinata sebagai residen dan Mu’min selaku residen militer daerah V. Dan Bupati Kabupaten Jatinegara Mr. R Soehanda Oemar berkantor di Gedung Papak Jatinegara, yang diayomi oleh perwira distrik militer Letda R Yusuf. Kabupaten Jatinegara pernah berkantor di pabrik sepatu Malino, Gang Binares, Pisangan Lama karena perselisihan antara pihak republik (RI, red) dengan pihak Belanda, yaitu orang Nica.
Terbentuknya Kabupaten Bekasi dimulai dengan dibentuknya "Panitia Amanat Rakyat Bekasi" yang dipelopori oleh KH. Noer Ali, R. Supardi, M. Hasibuan, Namin, Aminuddin dan Marzuki Urmaini. Selanjutnya pada tanggal 17 Februari 1950, sekitar 40.000 masyarakat Bekasi melakukan unjuk rasa di alun-alun Bekasi (sekarang ditandai dengan monumen). Rakyat Indonesia, Bekasi itu menyampaikan pernyataan sikapnya pada dunia yang dihadiri oleh Bapak Mu’min selaku Residen Militer Daerah V berserta rombongan. Pertama, bahwa rakyat Bekasi tetap berdiri di belakang pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia (RI). Selanjutnya, rakyat Bekasi mengajukan usul kepada pemerintah pusat agar kabupaten Jatinegara menjadi Kabupaten Bekasi.
Kabupaten Bekasi terbentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1950 tertanggal 15 Agustus 1950. Pada saat itu, Kabupaten Bekasi terdiri dari 4 kewedanaan, 13 kecamantan dan 95 desa. Waktu itu kecamatan Cibarusah termasuk wilayah Kabupaten Bekasi. Sekedar diketahui, angka-angka itu terungkap apik di dalam lambang Kabupaten Bekasi. Moto Kabupaten Bekasi, “Swatantara Wibawa Mukti.” Selanjutnya, pada tahun 1960, kantor Kabupaten Bekasi dipindahkan ke Bekasi dari Jatinegara.
Perkembangan pemerintahan RI pada waktu itu menuntut adanya pelayanan yang maksimal terhadap masyarakat. Maka, pada tahun 1982 Komplek Perkantoran Pemerintah Kabupaten Bekasi Daerah Tingkat II Bekasi dipindahkan oleh Abdul Fatah selaku Bupati ke Jalan Jenderal Ahmad Yani Nomor 1, yang sebelumnya berlokasi di Jalan Ir H Juanda.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 1981 Kecamatan Bekasi ditingkatkan statusnya menjadi Kota Administrasif Bekasi yang meliputi 4 kecamatan; Bekasi Barat, Bekasi Selatan, Bekasi Timur, Bekasi Utara. Dari keempat kecamatan itu terdiri 18 kelurahan dan 8 desa. Pemekaran itu dilakukan atas tuntutan masyarakat perkotaan yang memerlukan adanya pelayanan khusus. Pembentukan Kota Administrasi Bekasi digelar pada tanggal 20 April 1982 yang dihadiri Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Adapun yang menjabat sebagai Walikota Administrasi Bekasi adalah Drs Andi R Sukardi hingga 1988, dan digantikan oleh Drs H Kailani AR.
Dengan adanya konsep Botabek yang didukung oleh Inpres Nomor 13 Tahun 1976 sangat berpengaruh besar terhadap perkembangan Kota Administrasi Bekasi sebagai daerah yang berbatasan langsung dengan ibukota negara, DKI Jakarta.
Dengan kondisi itu, maka Kota Administrasi Bekasi dan kecamatan-kecamatan di sekitarnya yang berada di wilayah kerja Kabupaten Bekasi mengalami pertumbuhan yang amat pesat. Sehingga memerlukan peningkatan dan pengembangan sarana dan prasaran sebagai syarat pengelolaan wilayah.
Selain itu, perkembagan yang ada telah menujukkan bahwa Kota Administrasi Bekasi mampu memberikan dukungan penggalian potensi di wilayahnya untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Dan untuk mendukung jalannya roda pemerintahan, maka keluarlah UU Nomor 9 Tahun 1996 yang mendukung berubahnya Kota Administrasi Bekasi menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Bekasi.
Sedangkan wilayah kerja Eks Kota Administrasi Bekasi meliputi Kecamatan Bekasi Utara, Kecamatan Bekasi Barat, Kecamatan Bekasi Selatan, Bekasi Timur dan ditambah wilayah kerja Kecamatan Pondok Gede, Jatiasih Bantar Gebang serta Kecamatan Pembantu Jatisampurna. Kesemuanya itu meliputi 23 desa dan 27 kelurahan. Pejabat Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Bekasi dipegang oleh Drs H Kailani AR selama 1 tahun. Selanjutnya, dijabat secara definitif oleh Drs H Nonon Sonthanie yang terhitung sejak tanggal 23 Februari 1998.
Dalam perkembangannya, telah terjadi perubahan jumlah dan status kelurahan/desa. Maka, berdasarkan surat Menteri Dalam Negeri bernomor 140/2848/PUOD tanggal 3 Februari 1998 dan sesuai keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat Nomor 50 Tahun 1998, mengubah status 6 desa menjadi kelurahan, pemecahan 2 kelurahan baru. Sehingga jumlah desa/kelurahan di Kotamadya Daerah Tingkat II Bekasi menjadi 52 desa. Masing-masing 35 jumlah kelurahan dan 17 jumlah desa.
Seiring dengan berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah telah mengubah paradigma penyelenggaraan pemerintah daerah. Atas landasan itu pula nomenklatur pemerintah daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Bekasi berubah menjadi Kota Bekasi. Berdasarkan UU Nomor 22/1999, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah dan Provinsi sebagai Daerah Otonomi serta PP Nomor 84 Tahun 2000 Tentang Pedoman Organisasi Pejabat Daerah, telah melahirnya peraturan daerah Nomor 9, 10, 11 dan 12 Tentang Pengaturan Organisasi Perangkat Daerah.
Untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat lewat Perda (peraturan daerah) maka terbitlah Perda Nomor 14 Tahun 2000 yang menyesahkan terbentuknya 2 kecamatan baru: Kecamatan Rawa Lumbu dan Medan Satria. Sehingga Kota Bekasi terdiri atas 10 kecamatan. Dan berdasarkan Perda Kota Bekasi Nomor 02 Tahun 2002 Tentang Penetapan Kelurahan, maka seluruh desa yang ada di Kota Bekasi berubah status menjadi kelurahan, sehingga Pemko (pemerintah kota) Bekasi mempunyai 52 pemerintahan di kelurahan.
Seiring waktu perjalanan Pemko Bekasi mengalami pemekaran kembali. Itu didukung oleh Perda Pemko Bekasi Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Wilayah Administrasi kecamatan dan kelurahan, maka wilayah administrasi Kota Bekasi menjadi 12 kecamatan dan 56 kelurahan. Semua itu ditempuh untuk meningkatkan pelayanan dan mengayomi masyarakat yang ada di wilayah Administrasi Kota Bekasi. Tak lama kemudian, terbitlah Keputusan DPRD Kota Bekasi Nomor 37-174.2/DPRD/2003 tertanggal 22 Februari 2003 tentang penetapan walikota Bekasi dan wakilnya periode 2003-2008. Yang dilanjutkan dengan keputusan Mendagri bernomor: 131.32-113 Tahun 2003 Tentang Pengesahan Walikota Bekasi, Jawa Barat. Dan keputusan Mendagri Nomor: 132.32-114 Tahun 2003 Tentang Pengesahan Walikota Bekasi, Jawa Barat H Akhmad Zurfaih HR, S.Sos yang didampingi oleh Mochtar Mohamad. Saat ini Kota Bekasi dipimpin oleh Mochtar Mohamad selaku Walikota didampingi oleh Rahmat Effendi selaku Wakil Walikota yang terpilih dalam pemilihan Walikota dan Wakil Walikota secara langsung oleh rakyat Kota Bekasi.
Menjelang hari kelahiran (jadi) Pemko Bekasi yang ke-9 tahun 2006, lokasi perkantoran atau pusat ibukota Pemko Bekasi dialihkan ke Jalan Jend. Ahmad Yani Nomor 1 Kecamatan Bekasi Selatan yang sebelumnya berpusat di Jalan Ir Juanda. Alasan pemindahan itu berlandaskan atas persetujuan penetapan pusat ibukota Pemko Bekasi yang disahkan oleh lembaga DPRD Kota Bekasi bernomor: 27/174.2/DPRD/2005 Tentang Persetujuan Pemindahan Pusat Ibukota Pemko Bekasi tertanggal 25 Juni Tahun 2005. Yang diketahui oleh Gubernur Jawa Barat dan Mendagri RI.
Di hari jadi Pemko Bekasi yang ke-10, yang bertepatan tanggal 11 Maret 2007, Pemko Bekasi telah melaksanakan berbagai aktivitas pemerintahan yang berpusat di Jl Jend Ahmad Yani No 1 Bekasi Selatan. Dan kondisi perkantoran representatif sebagai pusat dan pelayanan masyarakat Kota Bekasi.
Pada pemilu legislatif 2004 telah mengantarkan 45 orang wakil rakyat Kota Bekasi dari delapan partai politik: PKS (11), Golkar (9), PD (7), PAN (6), PDI-P (6), PPP (4) PDS (1), PBB (1). Periode 2004-2009, yang terpilih sebagai pimpinan DPRD Ketua H Rahmat Effendi, S.Sos, M.Si, (F-Golkar), didampingi oleh H Dadang Asgar Noor (F-PD) dan H Ahmad Syaikhu (F-PKS). Saat ini ketua DPRD Kota Bekasi adalah H. Yusuf Nasih, S.Sos, menggantikan Rahmat Effendi, S.Sos yang terpilih menjadi Wakil Walikota.
Langganan:
Postingan (Atom)