Jumat, 29 Mei 2009

Cerita Para Pendaki Selama Hilang di Hutan

1. Iwan (35 tahun)

Membuat Surat Wasiat

Kondisinya paling parah di antara tujuh pendaki yang lain. Pada hari ketiga atau Sabtu (23/5) kepalanya terantuk batu dan menyebabkan pendarahan yang cukup lama. Berdasarkan penuturan Didi (28), darah di kepala Iwan tak berhenti mengalir.
“Mengalir deras seperti leher kambing yang baru disembelih,” katanya sambil mengerutkan wajah. Namun, kondisi Iwan berangsur-angsur pulih. Setelah kepalanya yang sobek itu ditutupi kain, pendarahannya berhenti.

Iwan adalah orang yang dituakan di antara tujuh pendaki. Saat dua pendaki lain sudah ditemukan, Iwan dan empat lainnya tetap tegar. “Saya seperti merasa dilindungi oleh yang Mahakuasa. Dzikir dan shalat tidak pernah saya tinggalkan. Alhamdulillah selama pencarian jalan menuju pulang, kami tidak dihadapkan dengan masalah-masalah lain,”
katanya yang saat ditemui Radar Bekasi sedang dirawat intensif dokter RSUD 45 Kabupaten Kuningan.

Ia menceritakan, persediaan makanan yang mereka bawa hanya cukup untuk satu hari. Selebihnya selama enam hari mereka berusaha menghemat persediaannya. “Enam hari itu kami hanya hidup dari air, madu dan mie instan,” ujarnya. Selama enam hari itu, lima pendaki ini selalu membagi satu mie instan untuk dikonsumsi tiga orang setiap harinya.
Selebihnya mereka tidak makan lagi.

Iwan dan enam kawannya merasa tersesat sesaat setelah memutuskan untuk memotong jalan. Aksi potong-memotong jalan secara serampangan ini membuat mereka tak lagi menemukan jalan konvensional yang biasa digunakan para pendaki. Saat itu, ilalang mereka terabas agar bisa melihat jalur. Maklum, ilalang di atas ketinggian 2.000 mdpl adalah ilalang yang berduri. “Kami baru sadar kalau kami tersesat pada Sabtu (23/5),” kata Iwan.

Menginjak hari kelima mereka tersesat, Iwan sempat mencetuskan untuk membuat surat wasiat. Empat orang lainnya juga diajak untuk membuat surat wasiat, namun urung. Jadi, hanya Iwan yang menulisnya. Menurut penuturan Darsono, surat wasiat itu ditulis sebagai persiapan jika mereka ditemukan dalam kondisi tak bernyawa. Di dalamnya terdapat tulisan yang meminta agar pihak keluarga menyelesaikan segala urusan
seperti utang yang sedang diemban Iwan. Namun, Iwan enggan membeberkan surat yang telah ia buat.(ndi)


2. Didi (28)

Minum Air Kencing

Iwan merasa jijik ketika Didi dengan santainya menadah air kencingnya sendiri kemudian mencampurnya dengan bubuk Extra Joss. Setelah diaduk beberapa saat, Didi kemudian meminum air kencingnya sendiri. “Ternyata rasanya kecut ya,” kata Iwan menirukan kata-kata Didi yang terdengar polos.

Menurut Iwan, Didi mengalami dehidrasi sehingga harus meminum air kencing sendiri. “Waktu itu saya bilang, ‘mau bagaimana lagi, ini dalam kondisi darurat’. Silakan saja,” Iwan mempersilakan Didi.

Ketika Radar Bekasi mencari kebenarannya pada Didi, ia memang meminum air kencing itu. Tapi bukan karena dehidrasi. Ia meminum air seninya sendiri semata-mata untuk memberi motivasi agar teman-temannya tetap semangat. “Saya melihat semangat kawan-kawan kendur. Dengan meminum air kencing, saya ingin buktikan bahwa kita masih bisa bertahan hidup walau situasi buruk sekalipun,” katanya.

Didi pula yang mencetuskan membuat surat petunjuk dan menaruhnya di bawah sandal jepit. Dengan surat ini Didi berharap agar Tim SAR segera menemukan mereka.

Selama tersesat Didi mengaku tak ada banyak ketegangan yang dirasakan. Selama perjalanan, masing-masing pendaki memiliki cerita-cerita sendiri untuk diperdengarkan. Iwan sebagai orang yang dituakan bahkan selalu bercerita tentang sesuatu yang lucu. Cerita tentang sahabat Rosulullah juga menjadi bahan untuk memotivasi diri dan menghilangkan rasa bosan selama pencarian jalan menuju pulang.(ndi)


3. Darsono (36)

Nyawa Terasa Sangat Dekat

Agar tidak ada satu pun yang terpisah dari rombongan, lima pendaki yang masih tersesat berkomitmen menghubungkan satu sama lain dengan seutas tali. Tali itu dibentuk seperti rantai yang merangkai mereka berlima. Tali tersebut diikatkan pada pinggang agar dapat bergerak bebas selama perjalanan mencari jalan keluar.

Jika medan terjal, ikatan tali dilepas. “Ini untuk menghindari agar semua tidak jatuh begitu satu orang jatuh. Namun, jika jalan kembali landai, tali kami ikatkan kembali. Ini juga dilakukan untuk memberi efek psikoligis bahwa kami akan tetap bersama,” kata Darsono.

Darso ditemui Radar Bekasi sedang berbaring. Dua orang suster sedang memeriksa tekanan darahnya dan sedang membersihkan darah kering di telapak tangannya yang tersayat ilalang berduri. Darsono terlihat lemas dan belum mampu terbangun untuk makan bubur yang telah disediakan pihak rumah sakit.

Tak lama berselang, ia bangun. Kakinya masih diselonjorkan. Ia bercerita bahwa dirinyalah yang paling panik di antara empat teman lainnya. Sewaktu Iwan mencetuskan untuk membuat surat wasiat, ia pula yang pertama kali menolak. “Kami merasa nyawa sudah dekat,” gumamnya.(ndi)


4. Abdul Hatni (33)

Semangat Berlipat

Abdul Hatni adalah orang yang paling emosional di antara lima pendaki. Begitu salah satu regu Tim Gabungan menemukan mereka, ia lantang berteriak “Allahu Akbar”. Selama perjalanan menuju rumah sakit, setiap orang yang ia temui dan bersamalan selalu diakhiri dengan diteriaki frasa itu.

Hatni bisa dibilang sebagai pendaki yang kondisi fisiknya paling stabil setelah penemuan itu. Ia sempat menolak menaiki motor trail menuju ambulans yang sedang menunggu di kaki gunung. Di rumah sakit, ia pun menolak untuk diinfus karena merasa kondisinya sehat-sehat saja. Bahkan ia langsung mandi dan menunaikan shalat dzuhur.

Padahal, berdasarkan cerita Darsono yang berbagi satu kamar di ruang nomor 1 Ruangan Beda RSUD 45 Kabupaten Kuningan, kondisi tubuh Hatni paling lemah selama tersesat. “Saya heran, kok, sekarang justru dia yang paling kuat,” katanya.

Jika para pendaki lain masih berbaring di kasur, Hatni justru berjalan-jalan. Ia makan bubur dengan lahapnya. Sempat-sempatnya ia mencari cara agar kasur rumah sakit bisa tertekuk agar dirinya nyaman menonton televisi.

"Memang selama diperjalanan, fisik saya paling lemah, namun setelah mendengar cerita-cerita perjuangan sahabat Rosulullah, semangat saya berlipat,” ujar Hatni bercerita. Tak henti-hentinya Hatni berdoa agar dirinya diberikan ketabahan dan bersama teman-temannya bisa menemukan jalan pulang.(ndi)


5. Gembong (27), warga Jalan Irigasi Margahayu Bekasi Timur

Buang Perbekalan

Selama matahari terbit, lima pendaki ini terus melakukan perjalanan.Beristirahat sebentar kemudian berjalan kembali agar bisa segera menemukan jalan keluar. Ini terus dilakukan selama mereka tersesat. Baru ketika matahari tenggelam digantikan malam, mereka beristirahat.

Semua rintangan yang ada selama perjalanan hanya diatasi dengan peralatan manual. Pisau seadanya, penerang lampu yang minim, dan tanpa korek api. Jika malam tiba, penerangan hanya sesekali digunakan melalui media lampu senter. Mereka tak dapat menyalakan api unggun karena tak punya korek. Dingin sudah menjadi menu setiap malam.

“Saya sempat mengalami dehidrasi. Saat itu persediaan air sudah habis. Sungai tak ada air. Untungnya malam itu hujan, jadi kita bisa mengambil air hujan,” kata Gembong. Ia mengakui, medan yang ditempuh amat terjal dan berbahaya. Mereka harus turun lembah dan naik bukit agar tetap pada komitmen awal: terus menyusuri aliran sungai.

Beban yang tidak banyak pun terpaksa harus dipangkas. Ini dilakukan agar beban semakin ringan. “Kami sudah tidak berpikir lagi untuk membawa perbekalan sebanyak-banyaknya. Kami hanya memikirkan bagaimana caranya agar tim pencari segera menemukan kami,” katanya. (ndi)
(RADAR BEKASI, 29 MEI 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar